Dzawil Arham
AHLI WARIS DZAWIL AL-ARHAM DALAM FIQH SUNNI
A.
Pengertian Dzawil Arham
Arham bentuk jamak dari kata rahmun
yang berarti “tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu.” Kemudian
dikembangkan menjadi “kerabat”, baik datangnya dari pihak ayah maupun pihak
ibu.
Adapun lafazh dzawil arham yang
dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai
bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah, dan bukan
pula termasuk dari para ‘ashhabul furudh dan ‘ashabah. Misalnya: bibi (saudara
perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki
dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.[1]
Ahli waris dzawil arham secara
etimologi diartikan ahli waris dalam hubungan kerabat. Namun, pengertian
hubungan kerabat itu begitu luas dan tidak semuanya tertampung dalam kelompok
orang yang berhak menerima warisan sebagaimana dirinci sebelumnya. Sebelum ini
sudah dirinci ahli waris yag berhak menerima sebagai ashabul furudl dan
ashabah, dengan cara mula-mula diberikan kepada ashhabul furudl kemudian harta
selebihnya diberikan kepada ahli waris ashabah. Seandainya masih ada harta yang
tertinggal, maka kelebihan harta itu diberikan kepada kerabat lain yang belum
mendapat itulah yang dinamakan dzawil arham.[2]
B. Syarat Pewarisan Dzawil Arham
Bagi
dzawil arham bisa mendapat harta warisan dengan terpenuhinya dua syarat di
bawah yaitu:[3]
a.
Tidak
ada ashabah seluruhnya.
Sebab ashabah akan
mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada ashabah furudl.
Dan bila ada ashabah furudl, maka para ashabah akan menerima sisa harta waris
yang ada, setelah diambil hak para ashabah furudl.
b. Tidak ada ashabul furudl kecuali kedua suami atau
istri ketika ada sisa dari mereka dan tidak dikembalikan kepada mereka, maka
sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab radd urutannya sesudah dzawil
arham. Sebab jika ada ashabah furudl mereka tidak sekedar mengambil bagiannya,
tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd.
Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam
penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
Namun apabila ashabul furudl hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka
ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil
arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan
dzawil arham. Dengan demikian sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil
arham.[4]
Orang
yang termasuk dzawil arham ialah:[5]
1.
Anak
(laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan.
2.
Ayah
dan ibu.
3.
Ibu
dari ayahnya ibu.
4.
Anak
(laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan.
5.
Anak
perempuan dari saudara laki-laki.
6.
Anak
(laki-laki atau perempuan) dari saudara ibu.
7.
Paman
(saudara laki-laki dari ayah ) seibu.
8.
Saudara
perempuan dari ayah.
9.
Anak
perempuan dari paman.
10.
Saudara
laki-laki dari ibu.
11.
Saudara
perempuan dari ibu.
Keseluruhan dari ahli waris dzawil arham ini dapat dikelompokkan
menjadi empat kelompok, yaitu:[6]
1.
Kelompok
keturunan, yaitu :
a.
Anak
(laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan dan seterusnya kebawah.
b.
Anak
(laki-laki atau perempuan) dari cucu perempuan dan seterusnya kebawah.
2.
Kelompok
orang yang menurunkan:
a.
Ayah
dari ibu dan ayah dari ayah ibu dan seterusnya ke atas.
b.
Ibu
dari ayah ibu dan ibu dari ibu ayah ibu dan seterusnya ke atas.
3.
Kelompok
anak dari keturunan saudara:
a.
Anak
(laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan, baik sekandung seayah atau
seibu, serta keturunannya kebawah.
b.
Anak
perempuan dari saudara laki-laki kandung, seibu atau seayah dan seterusnya
kebawah.
c.
Anak
perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki kandung seayah atau seibu dan
seterunya kebawah.
d.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya kebawah.
4.
Kelompok
anak keturunan kakek dan nenek :
a.
Paman
(saudara laki-laki dari ayah).
b.
Saudara
perempuan dari ayah baik kandung, seayah atau seibu dan seterusnya kebawah.
c.
Anak
perempuan dari paman baik sekandung, seayah atau seibu dan seterusnya kebawah.
d.
Saudara
laki-laki dari ibu baik sekandung, seayah ataupun seibu dan keturunannya
kebawah.
e.
Saudara
perempuan dari ibu baik kandung, seayah atau seibu dan keturunannya ke bawah.
C.
Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham
Ada dua golongan pendapat mengenai Dzawil Arham, yaitu:[7]
1.
Golongan
ini berpendapat bahwa dzawil arham tidak berhak mendapat waris. Menurut mereka,
jika tidak ada ashhabul furudh atau ashabah maka harta waris dilimpahkan ke
baitul mal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada
umumnya. Mereka yang berpendapat demikan antara lain Zaid bin Tsabit r.a, Ibnu
Abbas dan dua imam yaitu Malik dan Syafi’i rahimahumullah.
Adapun
dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi’i ialah:
a.
Asal
pemberian hak waris adalah dengan adanya nash sayr’i dan qath’i dari Al-Qur’an
dan Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satupun nash yang pasti dan kuat
menyatakan wajibnya dzawil arham mendapat waris. Hal seperti menurut islam
batil.
b.
Rasulullah
saw ketika ditanya tentang hak waris, bibi baik dari pihak ayah maupun ibu,
beliau saw menjawab “sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa
dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikitpun.”
c.
Dalam
kaidah ushul fiqih telah ditegaskna bahwa kemaslahatan umum harus lebih
diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal
lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan
ashabah nya ketimbang dzawil arham.
2.
Pendapat
golongan kedua berbading terbalik dengan golongan pertama, bahwa dazwil arham
berhak mendapatkan warisan jika tidak ada ashhabul fuurdh atau ashabah. Dzawil
arham lebih berhak mendapatkan harta waris dari pada baitul mal, karena mereka
memiliki kekerabatan dengan pewaris. Para ulama berpendapat demikian yaitu Umar
bin Khathab, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Imam Abu Hanifah, Ahmad bin
Hambal rahimahumllah.
Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham berhak mendapatkan harta
waris berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan logika. Dalil Al-Qur’an terdapat dalam
surat al-Anfal ayat 75, yang berbunyi:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنۢ بَعۡدُ وَهَاجَرُواْ
وَجَـٰهَدُواْ مَعَكُمۡ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ مِنكُمۡۚ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ
بَعۡضُہُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٍ۬ فِى كِتَـٰبِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ
شَىۡءٍ عَلِيمُۢ (٧٥)
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu [juga]. Orang-orang
yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
[daripada yang kerabat] [3] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (75)
Ayat
tersebut menyatakan bahwa yang disebut kerabat, baik itu ashhabul furudh,
ashabah ataupu selain dari keduanya, maka merekalah yang lebih berhak menerima
hak waris daripada yang bukan kerabat. Jadi atas dasar inilah dzawil arham
lebih berhak menerima hak waris daripada baitul mal.
Adapun
dalil dari Sunnah Babawiyah, seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat
masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan: Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal
dunia, maka Rasulullah saw bertanya kepada Qais bin Ashim, “Apakah engkau mengetahui
nasab orang ini?” Qais menjawab,”Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai
asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak
laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.
Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu
Lubabah bin Abdul Mundzir.
Berdasarkan
riwayat tersebut, dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima hak
waris bila bukan termasuk ashhabul furudh ataupun ashabah, keponakan laki-laki
dari saudara permpuan tidak lain merupakan dzawil arham.
Adapun
dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak
untuk menerima harta warisan daripada baitulmal, karena ikatan pewaris dengan
baitulmal hanya dari satu arah, yaitu ikatan islam karena pewaris seorang
muslim. Berbeda dengan seseorang yang memeiliki hubungan kekerbatan dengan
pewaris, dalam hal ini ia mempunyan dua ikatan yaitu ikatan islam dan ikatan
rahim.
Sudah
barang tentu, ikatan dari dua arah ini jauh lebih kuat daripada ikatan satu
arah. Permasalahan ini sama seperti dnegan kasus adanya saudara kandung
laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Dalam suatu keadaan pembagian warisan
maka yang berhak mendapatkan saudara kandung laki-laki, sebab ikatannya dua
arah dari ayah dan ibu.
Golongan
kedua ini, menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syaf’i
bahwa hadits itu kemungkinan ada sebelum turunnya ayat yang menyatakan mengenai
dzawil arham. Atau hadits Rasulullah mengenai hak waris bibi.
Setelah
membandingkan pendapat dari kedua golongan, kita dapat menyimpulkan bahwa
pendapat jumhur ulama (golongan kedua) lebih rajib (kuat dan akurat), karena
memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi’in dan imam mujtahidin.
D.
Cara Pembagian Waris Para Kerabat
Ada perbedaan pendapat diantara para fuqaha mengenai tata cara
memberikan hak waris kepada para kerabat, diantaranya terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu:[8]
1)
Ahlur-Rahmi
Ahlur
Rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa
membedakan jauh dekatnya kekerabatan, dan tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dahif dan tertolak. Karena tidak
ada satupun dari ulama atau para imam mujathid yang mengakuinya apalagi
mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dnegan
kaidah syariyah yang masyhur dalam displin ilmu mawaris.
2)
Ahlut-Tanzil
Ahlur
Tanzil, mendudukan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris
asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup),
tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan ashabahnya.
Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan
bagian ahli waris yang lebih dekat (pokok). Inilah pendpaat mazhab Imam Ahmad
bin Hambal dan juga kalangan Malik dan Syafi’i.
3)
Ahlul
Qurabah
Dalam
pembagian waris kepada para kerabat, mazhab ini mengqiyaskan pada hak para
ashahab, berarti yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kekuatan
kekerabatannya. Mazhab ini merupakan pendapat dari Ali bin Abi Thalib r.a dan
diikuti ulama mazhab Hanafi.
Mazhab
ketiga, membagi dzawil arham menjadi empat golongan, yaitu:
a.
Orang-orang
(ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.
b.
Orang-orang
yang bernisbati kekerabatan oleh pewaris.
c.
Orang-orang
yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
d.
Orang-orang
yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris.
[1]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta:Gema
Insani Press, 1995, hlm.144
[2]
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
2014, hlm.
[3]Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta:Gema Insani
Press, 1995, hlm.157
[4]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta:Gema
Insani Press, 1995, hlm.157
[5] Amin
Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Komplikasi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 140
[6]
Ibid., hlm. 140-141
[7]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta:Gema
Insani Press, 1995, hlm.145-150
[8]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta:Gema
Insani Press, 1995, hlm.151-154
Komentar
Posting Komentar